Kamis, 23 Juli 2009

Efek Cairan Hitam

Seluruh lapisan tissue pada dagingku, seluruh nadi dalam jantungku...semuanya bergetar. Tanganku terus bergerak ke kiri ke kanan dengan halus namun penuh dengan ketidaknyamanan, tegang dalam sebuah penantian maya. Apa yang aku takutkan? Apa yang membuat dada ini terus menderu? Cairan hitam yang aneh, menimbulkan halusinasi yang bahkan tak dapat dilihat oleh mata dan dibayangkan oleh otak. Hanya jantung yang merasakan, melalui enzim-enzimnya yang memicu dentuman sekeras ini.
Aku jadi tidak tenang. Apa yang harus kulakukan ketika perasaan aneh ini muncul? Mencoba mengeluarkan cairan itu melalui butir-butir air dari pori-pori, tapi tetap saja ia mencengkram jantungku. Mencoba melompat tinggi, berharap cairan itu jatuh melalui mulutku...tapi tetap saja ia bersarang di sana. Dalam dadaku yang mulai terasa sakit.
Padahal saat ini aku sedang dalam kesendirian. Menanti jarum di lingkaran untuk berpindah angka, menanti deru mesin itu hadir di hadapanku. Jika sesuatu terjadi padaku, siapa yang akan merentangkan tangannya padaku? Jika tiba-tiba cairan hitam itu benar-benar telah menguasai sumber kehidupanku...siapa yang akan membalikkan rezim nya?
Mungkin besok aku takkan meminum cairan itu lagi. Aku akan mencontohi petuah seseorang yang jauh di balik kabel. Mencoba menghilangkan candu dalam tubuhku akan kenikmatan cairan hitam.



GabrieLangelo
23-7-2009

Rabu, 22 Juli 2009

Dua Dunia

Setiap pertengahan tahun, duniaku berpindah. Dari sebuah pedang bermata dua beralih ke sebuah sangkar emas. Dari yang tembok berpindah ke rantai. Kadang aku tak mengerti dunia tempat ku berpijak dan menghela nafas. Seolah terdapat sebuah gerbang dimensional diantara keduanya, yang jika dilewati, maka akan berpindah ke sebuah dunia yang jauh berbeda dari dunia yang satunya. Padahal keduanya berada dalam satu kesatuan yang disebut planet. Hanya karena sebuah kekuatan yang disebut sosial, keduanya memiliki perbedaan layaknya jurang.

Namun keduanya memberikan kenyamanan tersendiri dalam diriku. Sesuatu yang tak dapat digantikan dengan kata-kata. Sesuatu yang hanya bisa dipahami dengan “merasakan”. Semuanya menyangkut pada satu kata yang sering ku ucapkan berulang-ulang melalui jari dan bibirku:...... “KEBEBASAN”. Kedua dunia memberiku hal yang kucari....setidaknya...hal itulah yang terpikirkan olehku tanpa menyadari bahwa tak ada yang namanya kebebasan di dunia ini. Bahwa semuanya semu selama kekuatan yang bernama sosial itu ada. Dan manusia tak mungkin menghindari kekuatan itu karena “sosial” lah yang membuat mereka menjadi “manusia”.

Ketika aku hidup dalam dunia bertembok. Aku mengira diriku benar-benar bebas. Kemanapun kakiku berlari, tak ada satupun rantai yang menjegalnya. Kemanapun...apapun yang kulakukan dan kuingini. Namun suatu hari, ketika aku sedang berlari...berlari...dan berlari, lurus tanpa tujuan. Tiba-tiba wajahku menabrak sesuatu. Sesuatu yang keras yang tak pernah terbayangkan olehku bahwa benda itu ada di dunia ini. Tentu saja,....benda itu adalah tembok. Tembok yang membatasi langkahku pada sebidang tanah tertentu. Memiliki batas-batas yang melarangku untuk menyentuh dan melewatinya. Awalnya kukira tembok itu dapat dirobohkan, mengingat manusia adalah mahkluk yang panjang akal. Namun siapa sangka kalau tembok itu begitu kokoh. Tanganku harus rela berdarah demi menghancurkannya.....namun apa yang kudapat? Dibalik tembok yang hancur itu, ada sebuah tembok lain lagi. Tembok yang jauh lebih kokoh, jauh lebih kuat dan hampir-hampir mustahil untuk dihancurkan....tepat sekali,...tembok baja.

Dan itulah saat pertama kali kumenyadari bahwa, bahkan di dunia tak berantaipun, sesuatu yang disebut batasan itu ada. Batasan yang mencuri kebebasan utuh dari impianku. Kebebasan dimana tak seorangpun menganggap apa yang ingin dan sedang kulakukan adalah aneh. Berusaha menjadi normal dalam sebuah tembok isolasi!!! Seperti penjara tak terlihat yang dibuat langsung oleh yang disebut “SOSIAL”!!!
Lalu...apa yang membuatku tadi berkata bahwa dunia itu memberiku kenyamanan? Tentu saja, kebebasan semunya. Kebebasan dari berlari dalam wilayah tertutup tembok. Setidaknya kakiku masih bisa berlari walaupun hanya berkeliling. Berbeda sekali dengan duniaku yang satunya,...dunia berantai.

Dunia yang tampak indah diluar namun sebenarnya sangat menyiksa di dalam. Bahwa tak ada satupun tembok yang menghalangi penglihatanku, langkah kakiku, maupun keinginanku untuk pergi sesuka hatiku. Tak ada sesuatu yang bisa ku tabrak ketika sedang berlari di sana...Begitu bebas dan begitu indah. Itulah sebabnya “sosial” membuat benda yang disebut rantai. Benda yang bertujuan untuk memberikan batasan pada mereka yang tak memiliki tembok. Dan rantai adalah alat yang jauh lebih menyiksa, lebih menyakitkan dibandingkan dengan sesuatu yang tinggi dan kokoh seperti tembok. Aku tak bisa berlari mengikuti kakiku, karena aku akan berlari mengikuti kemana rantai menarikku. Tanganku tak bisa menjamah sesuatu dengan sesuka hati, karena rantai mengikatku dan apa yang baik di mata rantai, barulah tanganku dapat dibebaskan untuk mengambil sesuatu. Aku akan selamanya merasa berada dalam sangkar, ...walaupun seluruh kebutuhanku dipenuhi oleh rantai. Namun keinginanku hampir-hampir tak terpenuhi. Aku hidup sehat, bugar, dan bergizi dalam dunia rantai. Namun jiwaku luka dan membusuk, dihabisi perlahan-lahan dan pasti oleh kasih sayang sebuah “RANTAI”.

Pernah ada niat terlintas dalam otakku untuk mencoba memecahkan rantai yang membelit leherku...tapi ketika aku mencoba, aku menyadari kalau ujung rantai itu berpusat dalam dadaku. Pada organ yang membuatku hidup selama ini...pada Jantung!!! Tidakkah kau mengerti betapa sakitnya hatiku mengetahui hal itu?? Aku tak dapat melawan rantai!!...karena aku tahu aku akan mati. Karena dunia berantai adalah dunia tempatku dilahirkan...tempatku dibesarkan sehingga rantai itu sudah terpatri dalam jantungku. Dan jika benda itu hilang,...aku tak akan bisa hidup. Mati dalam raga yang bergerak. Hidup dalam raga yang tak berjiwa. Bukankah itu tak jauh beda dengan hidup dalam neraka???

Ooh...entah kapan aku bisa merasakan kata yang sering kuucapkan berulang-ulang tersebut...”KEBEBASAN” Kuharap ketika aku tiada dalam dua dunia tersebut, sesuatu yang terselubung cahaya di atas sana mau menolong jiwaku dan membebaskanku dari rantai maupun tembok ini. Bahwa aku akan benar-benar menemukan “KEBEBASAN” sejati seperti apa yang kuimpikan selama ini.

GabrieLangelo
22-7-2009